Beranda | Artikel
Hadis: Wali adalah Syarat Sah Akad Nikah (Bag. 2)
Senin, 5 Agustus 2024

Kandungan Hadis Pertama dan Kedua (Lanjutan)

Kandungan kedua: Ketika tidak ada wali, maka wanita dinikahkan oleh wali hakim

Hadis tersebut merupakan dalil bahwa ketika wali nasab dari wanita tersebut tidak ada, maka perwaliannya diambil alih oleh penguasa atau pemerintah (wali hakim). Pihak yang mewakili penguasa dalam hal ini adalah qadhi (hakim pengadilan agama).

Qadhi atau wali hakim tersebut menjadi wali bagi wanita dalam beberapa kondisi berikut ini.

Pertama, jika wanita tersebut sama sekali tidak memiliki wali nasab dari kerabatnya.

Kedua, jika ayah dari si wanita bersikap adhol. Yang dimaksud adhol adalah jika ayah dari wanita tersebut melarang (menghalang-halangi) wanita tersebut untuk menikah, tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Dalam kasus ini, perwalian berpindah ke wali hakim menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau (Al-Mughni, 9: 382). Adapun Imam Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad menyatakan bahwa perwaliannya berpindah ke wali ab’ad (wali nasab yang lebih jauh) [1], dengan syarat jika calon suaminya sekufu. (Lihat Al-Mughni, 9: 382; Ahkamuz Zawaj, hal. 148)

Ketiga, jika semua wali nasab dari wanita tersebut bersikap adhol. Dalam kasus ini, maka ulama sepakat bahwa perwaliannya berpindah ke wali hakim.

Di sebagian daerah, terdapat budaya yang tidak baik, yaitu ketika mereka melarang atau mempersulit wanita untuk menikah karena adanya tujuan atau maksud yang buruk. Sebagian wali ingin agar anak wanitanya bisa senantiasa membantu hidupnya, atau agar mereka bisa tetap menggembalakan sapi atau binatang ternaknya, atau mereka mengharuskan si wanita untuk menikah dengan laki-laki yang tidak diinginkan oleh si wanita. Atau bisa juga karena wali ingin tetap memanfaatkan kedudukan si wanita, misalnya karena si wanita itu adalah seorang pengajar, atau mempersulit kriteria laki-laki yang layak untuk menikahi anak wanitanya.

Ini semua termasuk kezaliman dan sikap buruk terhadap wanita, dan juga tasyabbuh dengan orang-orang jahiliyah. Allah Ta’ala berfirman,

فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ

“ … maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka (para wanita untuk menikah) … ” (QS. Al-Baqarah: 232)

Keempat, jika walinya ghaib (hilang atau tidak bisa dihubungi sama sekali). Dalam kasus ini, maka perwalian tersebut berpindah ke wali hakim, dan tidak boleh dinikahkan oleh wali ab’ad, menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i. Adapun Imam Ahmad dan Abu Hanifah, mereka berpendapat bahwa perwaliannya berpindah ke wali ab’ad, dan tidak boleh dinikahkan oleh wali hakim selama masih ada wali ab’ad. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

“Jika terjadi perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan, maka penguasa (wali hakim) yang menjadi wali atas wanita yang tidak punya wali.”

Dalam kasus keempat ini, wanita tersebut masih punya wali ab’ad.

Akan tetapi, para ulama fikih berbeda pendapat tentang batasan ghaib yang menyebabkan hak perwalian berpindah ke wali ab’ad. Perbedaan pendapat ini karena adanya perbedaan zaman di masa itu berupa sulitnya alat komunikasi. Sebagian ulama memberi patokan dengan batasan waktu, sebagian ulama yang lain memberi patokan dengan batasan jarak perjalanan. Adapun kondisi saat ini tentu sudah jauh berbeda, ketika kita bisa menghubungi orang lain dengan sangat mudah, meskipun berada di tempat yang sangat jauh sekalipun.

Sehingga pendapat yang benar, batasan ghaib tersebut adalah ketika maslahat bagi pihak wanita tidak bisa terwujud. Jika ketiadaan wali nasab tersebut tidak menyebabkan terluputnya maslahat, maka tidak mengapa menunggu beberapa saat. Demikian pula apabila wali nasab masih bisa dihubungi lewat telepon, dan beliau mewakilkan ke wali ab’ad, maka hal itu tidak masalah.

Apabila wanita tersebut berada di negeri non-muslim yang tidak memiliki pemerintahan dari kaum muslimin, dan wanita tersebut juga tidak mempunyai wali, maka jika terdapat muassasah (yayasan Islam), bisa menggantikan kedudukan sebagai wali. Jika tidak ada juga, maka perwaliannya bisa berpindah ke laki-laki saleh di daerah tersebut (Lihat Ahkamuz Zawaj, hal. 149). Wallahu Ta’ala a’lam.

Teks Hadis Ketiga

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، وَلَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا

“Wanita tidak boleh menikahkan wanita lain dan tidak boleh seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Karena sesungguhnya wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ibnu Majah no. 1882, Ad-Daruquthni 3: 227, dan Al-Baihaqi 7: 110. Dinilai sahih oleh Al-Albani, tanpa tambahan redaksi “karena sesungguhnya wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri.” Tambahan redaksi tersebut adalah perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.)

Kandungan Hadis Ketiga

Hadis ini mengaskan bahwa seorang wanita tidak memiliki hak perwalian dalam pernikahan. Dia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, juga tidak boleh menikahkan wanita yang lainnya. Dia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, baik dengan ijin wali ataukah yang lainnya. Wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya baik statusnya sebagai wali atau sebagai wakil. Akad nikah semacam itu tidak sah. Dilarangnya wanita menjadi wali adalah sebagai bentuk penjagaan terhadap kemuliaan wanita itu sendiri, lebih-lebih tabiat wanita adalah memiliki rasa malu yang bisa menghalanginya dari peran semacam itu. Wallahu Ta’ala a’lam. [2]

[Selesai]

***

@11 Muharram 1446/ 17 Juli 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/96770-hadis-wali-adalah-syarat-sah-akad-nikah-bag-2.html